Zaman Edo (Edo Jidai)
Zaman Edo (1603 – 1867), merupakan zaman kematangan feodal militer di Jepang. Kematangan ini ditandai dengan semakin sempurnanya sistem pengontrolan masyarakat oleh rezim penguasa secara sistematis mulai dari struktur pemerintahan, masyarakat, pemikiran, ekonomi, budaya, seni, pendidikan, diplomasi, dan hukum.Setelah Tokugawa Ieyasu mengalahkan para pengikut setia Toyotomi di pertempuran Sekigahara (Sekigahara no Tatakai) pada tahun 1600, ia diangkat menjadi shogun pada tahun 1603 dan mendirikan pemerintahan militernya di kota Edo (Edo Bakufu). Kepemimpinan Ieyasu tidak berlangsung lama, ia memimpin bakufu selama dua tahun (1603 – 1605). Kepemimpinan bakufu diteruskan oleh putranya yang ketiga yaitu Tokugawa Hidetada. Secara resmi Ieyasu sudah mengundurkan diri dari pemerintahan, namun ia tetap berada dibelakang layar membantu putranya Hidetada sampai ia wafat pada tahun 1616.
Walaupun keluarga Tokugawa telah menjadi pemimpin tunggal, masih terdapat kekhawatiran suatu saat pengikut setia Toyotomi akan merebut kekuasaan. Untuk mengantisipasi Tokugawa Ieyasu melancarkan serangan ke benteng Osaka yang merupakan basis kekuatan pengikut Toyotomi yang masih tersisa pada tahun 1614. Pada tahun 1615, Ieyasu berhasil menghancurkan sisa-sisa keluarga Toyotomi, dengan demikian keluarga Tokugawa menjadi pemimpin tunggal Jepang. Namun untuk mengantisipasi gerakan yang tidak di inginkan dari para daimyo, khususnya daimyo yang setia kepada Toyotomi, pemerintahan Tokugawa membagi daimyo menjadi tiga kelompok. Daimyo yang merupakan keturunan Tokugawa termasuk kelompok Shimpan-daimyo. Daimyo yang merupakan pengikut setia Tokugawa disebut Fudai-daimyo. Sedangkan daimyo yang merupakan pengikut Toyotomi disebut Tozama-daimyo.
Pada tahun 1615, Tokugawa Ieyasu menetapkan peraturan Buke Shohatto yang mengatur para pengikutnya. Salah satu isi peraturan ini adalah “para daimyo dilarang memperkuat kekuatan pasukannya, mendirikan benteng, maupun memperbaiki benteng tanpa sepengetahuan pemerintah pusat (bakufu)”. Cara lain yang dilakukan Tokugawa untuk mengendalikan para daimyo adalah mengeluarkan kewajiban bagi para daimyo untuk datang dan menetap di Edo selama beberapa waktu, yang dikenal dengan Sankin Kotai.
Sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, para daimyō beserta keluarga dan pengawalnya diwajibkan meninggalkan wilayahnya untuk menetap di Edo selama satu tahun. Biasanya dari musim panas, sampai musim panas tahun berikutnya, atau 4 bulan dalam satu tahun secara bergantian dan kemudian kembali ke wilayahnya lagi. Tetapi ketika ia kembali ke wilayahnya, keluarganya tetap tinggal untuk dijadikan sandera di Edo.
Peraturan Sankin Kotai menugaskan Tozama Daimyo di Edo untuk beberapa waktu, tetapi tidak memberi kegiatan atau kesibukan di pemerintah pusat ini. Di kota Edo, para daimyo diberi kebebasan untuk mengurus kegiatan pribadinya. Walaupun diberi kebebasan, peraturan ini bertujuan untuk menjaga dan mengawasi keberadaan daimyo. Perkembangan dari sankin kotai terlihat cukup nyata bagi bakufu, karena para daimyo menghabiskan sebagian besar waktunya di kota Edo. Sehingga perekonomian di kota Edo semakin kuat, sedangkan di setiap wilayah harus menyediakan biaya perjalanan bagi daimyo dan para pengikutnya, sehingga daimyo membebankan biaya ini kepada para petani dengan pajak yang cukup tinggi.
Hirarki Sosial di Zaman Edo
Diperkirakan pada zaman Edo jumlah kaum samurai kurang lebih 10% dari jumlah penduduk Jepang saat itu. Namun, dalam jumlah yang kecil ini kaum samurai harus mampu memerintah dan menguasai penduduk. Untuk itu Tokugawa memberlakukan sebuah sistem hirarki sosial yang didasarkan Konfusianisme yang dikenal dengan shi-nō-kō-shō ( 士農工商 ), sehingga struktur masyarakat pada zaman ini terbagi menjadi dua, yaitu yang memerintah dan diperintah. Dari istilah tersebut dapat dilihat kelas mana yang memiliki kedudukan tinggi dan mana yang memiliki kedudukan rendah. Urutannya adalah sebagai berikut :
1. Shi : bushi(samurai)
2. Nō : nōmin(petani)
3. Kō : kōsakunin(pengrajin)
4. Shō : shōnin(pedagang)
Pembagian serta susunan kelas ini berdasarkan fungsi dari setiap kelas di dalam masyarakat. Bushi sebagai penguasa negara dengan sendirinya berada di tingkatan paling atas, kemudian kaum petani (nōmin) dianggap sebagai kelas yang produktif yang merupakan tiang atau sumber ekonomi negara dan menghasilkan bahan makanan, yaitu padi-padian dan hasil ladang lainnya. Pengrajin (kōsakunin) merupakan kelas masyarakat yang memproduksi alat-alat kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kelas pedagang (shōnin) dianggap memiliki status rendah, karena mereka hanya dapat memperoleh keuntungan dari hasil yang telah diproduksi orang lain.
Pembagian hirarki sosial ini tergantung pada pertimbangan kelahiran dan status keturunan. Salah satu pemikiran konfusius yang diterapkan pemerintahan Tokugawa adalah pemahaman terhadap hakekat takdir yang mengatakan,”manusia harus menerima takdir semenjak lahir. Tidak dapat menggugat takdir” dengan adanya pemikiran ini, rakyat secara tidak langsung dipaksakan untuk menerima keadaan serta status yang dimilikinya dan tidak dapat mengusahakan kenaikan atau perbaikan statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pada kekuasaan shogun ke-3, Tokugawa Iemitsu, sistem hirarki sosial ini semakin ketat dan diskriminasi antar kelas semakin jelas. Hirarki sosial ini ditetapkan dengan tujuan tertentu, agar kelas penguasa tetap dapat mempertahankan kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas yang berada di bawahnya. Susunan resmi yang ditetapkan Tokugawa mengenai hirarki ini diperkuat dengan perbedaan penampilan pakaian, tutur bahasa, etika, dan tata rambut serta pemakaian jenis pedang bagi kelas samurai.
Selain kelas yang terdapat dalam sistem hirarki shi-nō-kō-shō, di dalam masyarakat feodal zaman Edo terdapat pula kelas masyarakat terendah yang disebut Eta – Hinin. Kelas ini dianggap sebagai masyarakat yang berasal dari keturunan orang-orang buangan.
Pembagian kelas yang secara vertikal ini telah disusun secara ketat dan kaku oleh pemerintah, namun sesungguhnya dalam setiap lapisan kelas itu sendiri masih ada tingkatan-tingkatannya lagi. Tingkatan tersebut dipengaruhi oleh jabatan, wewenang, kekuasaan, atau peranannya di dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian timbul hubungan antara atasan dan bawahan yang di pengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Pada mulanya hubungan ini hanya terdapat di dalam kelas samurai saja, tetapi kemudian hubungan “atasan dan bawahan” tersebut merata pula ke dalam masyarakat umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar